Monday, 20 February 2017

Cara Mengetahui Illat Hukum Forex

Hukum Forex Trading Menurut Pandangan Islam - Mise à jour Articles libres de droits Qui d'autre veut avoir une audience massive par des articles libres de droits? Bagi Anda yang mau bermain di bisnis forex commerce tentunya penasaran dan ingin tahu sebenarnya hukum forex dans halal ataukah haram. Sebenarnya hukum Forex ini tergantung dari cara bisnisnya sama halnya seperti di Bisnis Multi Level Marketing. Menurut fatwa MUI sendiri hukum Forex Trading est un katakan halal jika memenuhi kriteria tertentu. Untuk lebih jelasnya simak ulasannya berikut ini. Seperti halnya bisnis MLM (Marketing multi-niveaux), hukum bisnis Forex Trading dalam islam itu bisa dilihat dari dan dan mekanisme kerjanya. Hukum bisnis trading de devises itu dikatakan halal karena memang melakukan perdagangan jual beli mata uang asing. Bisnis négoce forex termasuk ke dalam kategori masala hukum Islam yang kontemporer. Hukumnya bersifat ijtihadiyyah yang masuk dalam ranah hukum fi ma la nasha fih (tidak mémiliki référensi hukum yang pasti). Maka dari itu, untuk dapat mengelompokkannya ke dalam bisnis yang diperbolehkan atau dilarang menurut islam, peru ada usaha yang lebih cermat, terutama dalam melihat pola dan mekanisme forex. Syariat Islam tissé Allah Swt. Turunkan sebagai tuntunan caché yang mengakomodir kebutuhan manusia sesuai dengan kekinian. Al-quran dan hadits menyempranakannya dengan mengetengahkan norma bisnis umum dan prinsif-prinsipnya yang tidak boleh dilanggar. Prinsip umum commerce de forex disamakan dengan jual beli emas atau perak seperti yang berlaku pada masa Rasulullah, yakni harus dilakukan dengan kontan atau tounai (naqdan) gélose d'eau de transaksi ribawi (riba fadhl). Hadis Rasulullah memberikan penjelasan mengenai transaksi jual beli enam komoditi barang yang termasuk kategori berpotensi ribawi. Sabda Rasulullah a vu: 8220Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, barli dengan barli, sya8217ir dengan sya8217ir (jenis gandum), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, dalam hal sejenis dan sama haruslah secara kontan (yadan biyadinnaqdan). Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sekehendak kalian, dengan, syarat, secara, kontan.8221 (HR. Musulman). Dengan berdasar pada hadis yang disebutkan di atas, dalam kitab al-Ijma8217, hal. 58-59, Ibnu Mundhir membuat sebouah analagi tentang hukum forex menurut Islam. Menurutnya, bisnis forex sama dengan pertukaran emas dan perak, yang dalam terminologi fiqih dikenal dengan istilah sharf yang keabsahannya tacheh disepakati para ulama. Dengan demikian, emas dan perak sebagai mata uang dilarang ditukarkan dengan sejenisnya, misal Rupiah ditukarkan dengan Rupiah (IDR) atau Dolar kepada Dolar US (USD), kecuali nilainya setara atau sama. Jika hal ini dilakukan dikhawatirkan akan muncul potensi riba fadhl sebagaimana yang dilarang dalam hadits di atas. Namun, ketika jenisnya berbeda, seperti Rupiah ditukarkan ke Dolar atau sebaliknya, maka itu dapat dilakukan sesuai dengan harga passer (taux de marché) yang berlaku saat itu dan harus kontanon spot (taqabudh fi8217li) berdasarkan kelaziman pasar (taqabudh hukmi). Perkara kontan dan tunai, sebagaimana dikemukakan Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni, didasarkan pada kelaziman passer yang berlaku, termasuk ketika penyelesaiannya (règlement) harus melewati beberapa confiture karena harus melewati proses transaksi. Adaptabilité des produits dangereux pour les denrées alimentaires. Berdasarkan pembahasan tadi, fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 28DSN-MUIIII2002 tentang Kegiatan Transaksi Jual-Beli Valas prada prinsipnya dibolehkan, asalkan memenuhi ketentuan sebagai berikut. Tidak untuk spekulasi (Untung-untungan) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan) Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya Harus sama dan Secara Tunai (attaqabudh) dan Apabila berlainan Jenis maka Harus dilakukan dengan nilai Tukar (kurs) yang Berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Yang dimaksud dengan valutant adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, sterling inggris, ringgit Malaisie dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap négara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonésie akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonésie memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbill punk dan perminataan di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) Misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang et transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan de Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno et al., Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77). Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan UmumBAB I PENDAHULUAN Untuk memahami makna dan hakikat hukum atau aturan-aturan yang yuh disyariatkan Allah swt. 8212 yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur caché dans kehidupan umat manusia 8212 bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semu aturan yang telah ditetapkan Dieu tersebut, pada akhirnya Le jour sendiri yang mengetahui hakikatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan Alasan-Alasan apa yang melatarbelakangi penetapan hukum aturan-aturan tersebut 8212 di samping terkait pula dengan prosedur apa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui dimaksud Alasan-Alasan. Persoalan yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan Suatu hal yang Penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang Harus dilakukan agar Makna dan nilai Suatu ketentuan hukum syara yang Telah ditetapkan Allah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum tersebut. Dalam Kegiatan Istinbth hukum yang dilakukan oleh para ulama ushul - sepanjang Sejarah pemikiran hukum - salah satu persoalan yang paling mendasar dan yang banyak menimbulkan diskusi di kalangan mereka adalah menyangkut Alasan-Alasan apa saja yang mendasari atau yang melatarbelakangi Suatu ketetapan hukum syara. Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum et yang telah ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertanu que mengandung hikmah yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum et yang telah ditetapkan oleh Allah tidak ada gunanya dan ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan katas lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang Telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait dengan les dicapai de Sebab-Sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat Nanti . Secara lebih tegas lagi dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah baik perintah maupun larangan, di samping bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusie, juga mempunyai alasan-alasan atau latarbelakang tersendiri. Sejalan dengan maksud ini, le maka dapat disebutkan le bahwa setiap perintah que larangan pasti mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum) que tujuannya masing-masing. Pandangan ini memberikan penghéran bahwa suatu ketentuan hukum itu tidaklah lahir atau ditetapkan begitu saja, tetapi ada faktor-faktor etang mendorong keberadaannya itu. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, hal yang disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara tersebut. Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong (Alasan-Alasan logis) dari semua ketentuan hukum yang Telah ditetapkan uit, maka para ulama ushul berupaya meneliti Nash al-Quran dan al-Sunnah dengan Melihat hubungan antara Suatu ketentuan hukum dengan Alasan yang mendasarinya (Causal 8211). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang dalam kemudien Ilmu Ushul Fiqh disebut denganillat hukum atau Grand al-Ahkm (), yaitu teori ke-illat-un hukum. Teori ke-illat-a hukum atau illat hukum (grand al-ahkm) pada prinsipnya mengkaji dan membicarakan tentang apa yang menjad illat atau manth al-hukm (), yaitu pautan hukum serta apa pula yang menjadi indikator bahwa illat yang dimaksud adalah merupakan alasan Yang dijadikan dasar dalam pénétapan hukum tersebut. Di samping itu, bagaimana pula prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan suatu illat hukum serta apa-apa saja yang menjadi keriteria atau persyaratan dari suatu illat tersebut. Kemudien, pembahasan tentang illat hukum dans le juga akan melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyariatan hukum (maqshid al-syarah). Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya pengkajian tentang illat. Artinya, dari sini akan terlihat bagamana eksistensi dan posisi illat yang dipandang sebagai faktor penentu atau alassan yang tidak dapat dipisahkan dari penskanan hukum syara. Bertitik tolak dari sini ulama ushul merumuskan teori illat hukum yang dapat dijadikan sebagai alat dalam kegiatan istinbth al-ahkm (penggalien dan penetapan hukum). Atas dasar kerangka pemikiran ini, maka ulama Ushul Fiqh mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum akan terpaut dengan ada dan tidak adanya illat. Artinya illat-lah yang menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Khallf menyebutkan: Maksudnya bahwa hukum-hukum syar itu dilatarbelakangi olead ada dan tidak adanyaillat, bukan oleh hikmahnya. Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi illat dalam hubungannya dengan pensyariatan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu illat menjadi kata kônân yang sangat menentukan dalam upaya untuk memahami apa yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara tersebut. Akan tetapi, pandangan di atas mengundang suatu pertanyaan, yaitu apakah setiap penetapan hukum oleh Allah terpaut dan tunduk kepada illat-nya dan bagaimana hal tersebut dapat dipahami Ternyata, dalam prakteknya, menimbulkan perdebatan de kalangan ulama kalam yang kemudian diikuti ulama ushul, karena tidak semua Ketentuan hukum dapat dipahami dan ditangkap oleh akal manusie apa yang menjad illat pensyariatannya. Banyak ketentuan hukum syara tidak dapat dipahami secara rasional apa yang menjad illat penetapannya. Aspek inilah yang kemudien oleh Ulama Ushul dikategori-kan kepada persoalan taabbud. Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa prada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan syara mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasan-alasan logis itu sebagien ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini pour ulama Ushul menyatakan bahwa illat hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari illat itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masala-masala yang berkaitan dengan urusan ibadah. Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dijangkau illat-nya oleh nalar manusia, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan taabbud, dan terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, maitka 8212 ulama ushul 8212 menyebutnya dengan sebab. Artinya antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang melatarbelakangi penetapannya tidak dapat diketahui hubungannya oleh akal secara jelas. Sebagai contoh, bahwa di dalam al-Quran diperintahkan untuk mengerjakan shalat Zhuhur setelah tergelincirnya matahari. Al-Isr17: 78. Dirikanlah shalat (Zhuhur) ketika tergelincir matahari (QS. Al-Isr17: 78) Di sini, hubungan antara perintah mengerjakan shalat Zhuhur dengan tergelincirnya matahari tidak dapat diketahui dan sulit dipahami oleh akal. Oleh karena itu, inin tidaklah dinamai denganillat, tetapi disebut dengan sebab. Banyak ketentuan hukum syara yang sulit dan tidak dapat dipahami oleh akal mania bagaimana hubungan logisnya dengan alasan-alasan yang melatar-belakanginya. Bila berhadapan dengan persoalan seperti ini, maka sebagien ulama ushul mengatakan haruslah dilihat dari segi nilai yang terkandung de dalamnya dan tujuan disyariatkannya hukum syara. Nilai dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu ketentuan hukum syara yang et dhabs ditetapkan de dalam nash 8212 bakan perintah maupun larangan 8212 adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi unat manusia baik memberi manfaat bagi manuscrit maupun menghindarkan mereka dari kemudaratan. Oleh karena itu, yang mendorong penetapan suatu ketentuen hukum syara adalah kemaslahatan itu sendiri. Jadi berdasarkan, pandangan, yang, disebutkan, terakhir, in ternyata, tujuan, hukum, dijadikan, sebagai, illat, yang, melatar-belakangi, penetapannya. Tujuan hukum itu de kalangan ulama disebut dengan hikmah. Jika demikian halnya, maka penetapan hukum didasarkan képada hikmah. Artinya, setiap ketentuan hukum syara dibangun atas dasar hikmah dan hikmah itu pula yang menjadi pautan hukum atau illat. Pandangan ini melahirkan perbedaan pendule de kalangan ulama ushul antara yang menerima dan yang menolak hikmah dijadikan sebagai illat atas penetapan hukum syara, karena apa yang disebut dengan hikmah itu pada daarnya sesuatu yang samar-samar, perkiraan dan anggapan saja yang kepastiannya belum dapat diakui. Dalam hubungan ini, congo kasus berikut dans un dapat dijadikan bahan perbandingan. Dalam al-Quran disebutkan bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan tidak berpuàa pada bulan Ramadhan. Allah est l'auteur de ce livre: 8230 8230 2: 184. Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (boleh tidak berpuasa) maka hendaklah ia perhitungkan pada hari hari yang lainnya (QS Al-Baqarah2: 184) Berdasarkan ayat di atas berlaku ketentuan Hukum bolehnya orang sakit tidak berpuasa. Namun ketetapan hukum syara dibolehkannya orang sakit tidak berpua pada bulan Ramadhan tidak dapat diketahui secara pasti apa illat yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pemikiran, kepada, hikmah, yang, dijadikan, sebagai, illat, yang, mendorong, ketetapan hukum syara, tersebut, yaitu untuk, menghilangkan, kesulitan, atau, apa, yang, disebut, dengan, istilah, masyaqqat. Akan tetapi, kesulitan (masyaqqat) yang dijadikan sebagai pendorong dibolehkannya bagi orang sakit tidak berpua pada bulan ramadhan sebetulnya hal yang samar samar dan tidak pasti. Sebab, ternyata, tidak, semua, orang, mempunyai, kondisi, yang, sama, ada, yang, merasakan, kesulitan, dan, banyak, pula, orang, yang, tidak, merasakannya. Dengan demikian, adalah, tidak, tepat, menetapkan, suatu, hukum, hanya, berdasarkan, kepada, hikmah, yang, keberadaannya, samar-samar. Oleh karena itu kalangan jumhur menolak ber-illat dengan hikmah semata-mata. Akan tetapi, al-Amid menerima hikmah sebagai illat secara bersyarat, yaitu hikmah itu harus jelas dan jika tidak jelas maka tidak dapat dijadikan sebagai illat yang mendasari ketetapan hukum syara. Lebih jauh terlihat pula ada ulama yang tidak membolehkan mengaitkan ketetapan hukum syara kepada illat sama sekali, karena hal tersebut menurut mereka berarti menganggap Allah tidak sempurna. Padahal segala sesuatu yang ditetapkan Allah tidak tergantung képada etang lain Allah berbuat menurut pilihannya sendiri. Kelompok ini dikenal dengan sebante nafy al-tall () yaitu golongan yang menolak ke-illat-un hukum. Mereka ini terdiri dari sebagian pengikut Asyariya, sebagian dari filosof dan di kalangan ulama ushul antara lain Zhahiryah. Bila dicermati lebih jauh, perbedaan ini tidak saja terjadi dalam melihat apa yang menjad illat dari suatu ketentuan hukum, tetapi juga dalam penyebutan atau penaman terhadap illat tersebut serta prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menetapkannya. Dan juga dalam persyaratan etang digariskan bagi eksistensi illat tersebut. Akibat dari perbedaan tersebut di atas, tampon dengan jelas pengaruh terhadap eksistensi illat itu envoyer en nilai atau warna hukum yang dihasilkan. Dengan kata lain, perbedaan seperti digambarkan di atas membawa pengaruh yang cukup luas dalam pénétapan hukum syara. Hal ini tidak saja terlihat pada kasus-kasus yang ada nashnya, sebagaimana dicontohkan di atas, tetapi lebih-lebih lagi pada kasuskasus baru atau masala-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang setiap saat bermunculan sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Dalam segala bidang. Terhadap kasus-kasus yang ada nashnya dan tissuh ditetapkan ketentuan hukumnya di kalangan ulama juga terdapat perbédan dalam memahami illat-nya. Misalnya kasus yang berkaitan, dengan, kebolehan, musafir, melakukan, qashar, shalat. Tentang qashar shalat dans le terdapat dua pandangan yang berbeda dalam penetapan illat-nya. Pandangan pertama mengatakan baie illat bolehnya musafir melakukan qashar shalat tersebut adalah karena adanya kesulitan (masyaqqat). Artinya, jika, tidak, ada, kesulitan, tentu, tidak, ada, keizinan, atau, dibolehkan, melakukan, qashar, shalat, bagi, musafir. Sebaliknya, pandangan kedua, mengatakan, bahwa, bolehnya, musafir, melakukan, qashar, shalat, illat-nya, bukan kesulitan, tetapi safar itu sendiri. Terhadap kasus dans dapat dikatakan bahwa suatu keadaan yang abstrak dan tidak dapat diukur tidak dapat dijadikan illat. Oleh karena itu kasus qashar shalat dengan illat masyaqqah (kesulitan) tidak dapat diterata karena akan berbeda pada setiap orang dan relatif tidak ada ukurannya. Apalagi dalam perkembangan dunia moderne sekarang ini apa yang disebut masyaqqah itu untuk mengerjakan shalat bagi musulman dalam perjalanan relatif hampir tidak ada lagi. Jadi, dapat, dipahami, bahwa, kebolehan, qashar, shalat, bagi, musafir, itu, sebetulnya, terkait, dengan, hubungan, sebab, akibat, dan, inilah, yang, disebut, sebab, dan tidak dinamai dengan illat. Demikian juga halnya dengan kasus-kasus baru dan atau masala-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang banyak ber-illat képada nilai dan tujuan yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum. Contoh kasus tentang dans adalah keputusan Komisi Fatwa MUI pusat tentaculaire hukum memakan dan budidaya kodok. Dalam keputusan tersebut dijelaskan, membudidayakan kodok hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Terkesan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI di atas tidak Tegas, karena tidak semua ulama menerima keputusan ini, Sebab lebih Condong mempertimbangkan nilai ekonomi meskipun persoalan Kodok ini, jauh sebelumnya Telah menjadi perdebatan di kalangan ulama mazhab. Mencermati apa yang Telah dipaparkan di atas, maka masalah illat hukum ini sangat perlu untuk diteliti dan dikaji Secara Mendalam agar diperoleh Gambaran yang lebih Jelas terhadap eksistensinya dan fungsinya dalam penetapan hukum. Kecuali uit, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama, yang mempengaruhi Corak pemikiran hukum syara sudah tentu tidak dapat dipisahkan dari perbedaan pemahaman mereka tentang teori illat yang berkembang dan penerapannya dalam penetapan hukum pada setiap kurun waktu. Dalam penelitian ini, sengaja dibatasi kajiannya pada teori illat hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi penetapan hukum Islam (tharqat Istinbth al-Ahkm). Kajian tentang illat hukum adalah menyangkut persoalan yang sangat penting, karena ia akan mémbahas alasan-alasan yang melatarbelakangi lahirnya ketetapan hukum syara. Oleh de l'uit, agar Kajian ini lebih fokus, maka yang menjadi permasalahan yang mendasar dalam Penelitian ini adalah apa sebenarnya illat hukum itu dan bagaimana fungsikedudukannya dalam penetapan hukum syara Dari pertanyaan pokok ini, maka permasalahn pokok dapat dirumuskan sebagai berikut (1) bagaimana rumusan illat dan Conditions Coûts-Conditions Coûts yang ditetapkan baginya (2) prosedur apa saja yang ditempuh dalam penetapan illat tersebut (3) apa saja yang dijadikan Landasan sebagai Sumber penetapan illat (4) bagaimana fungsi dan kedudukan illat dalam penetapan hukum pokok Permasalahan-permasalahan yang disebutkan ini akan Dikemangkan dalam pembahasan berkutnya, antara lain (a) illat dan kaitannya dengan tujuan hukum (maqshid al-syarah), (b) illat dan pengembangan hukum Islam serta (c) illat dan masalah-masalah kontemporer. Berpijak dari rumusan dan Batasan masalah yang Telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari Penelitian ini adalah untuk memperoleh kejelasan dan Pengetahuan yang Mendalam tentang eksistensi teori illat dan fungsinya dalam penetapan hukum syara yang meliputi, rumusan illat dan Conditions Coûts-syaratnya, prosedur yang ditempuh dalam penetapannya, Landasan yang menjadi pijakan dalam penetapan illat, fungsi dan kedudukan illat dalam penetapan hukum syara, illat dan kaitannya dengan tujuan hukum syara (maqshid al-syarah), illat dan Pengembangan hukum Islam serta illat dan masalah-masalah kontemporer. Sejauh yang dapat penulis telusuri bahwa terdapat boire karya baik yang berbentouk buku ataupun hasil penelitien yang yi thai mengkaji persoalan illat hukum ini. Buku tersebut adalah karya Imam al-Ghazl (450-505H1058-1111) yang ditahqiq oleh Hamm al-Kubais dengan berjudul Syif al-Ghall f Bayn al-Syabh al-Mukhayyal wa Maslik al-Tall. Kajian yang diuraikan dalam et buku ini menjelaskan persoalan illat dan qiys. Pada bagian muqadimah dari buku ini menjelaskan masala qiys dan pembagiannya, makna illat dan dillah. Pada bagian berikutnya membahas cara mengetahui sifat illat dan langkah-langkah yang ditempuh dalam penetapannya, perbedaan illat dengan sabab, penetapan illat dengan ijm, istidhll dengan illat munsabah dan pandangan ulama. Pada bagian berikutnya membahas apa saja yang dapat dijadikan illat, macam-macam al-munsabah dan batasannya, serta dalil-dalil penggunaannya, maqaid al-syarah dan illat. Pada bagian akhir en buku ini menguraikan penggunaan hikmah sebagai illat hukum. Kemudien, Musthaf Syalab. Juga menulis, tentat, illat hukum, dengan judul, Talil al-Ahkm, Ard wa Tahll, Tharqat al-Tall wa, Tathawwartih, Ur al-Ijtihd wa al-Taqld. Musthaf Syalab menguraikan dalam buku ini hal-hal et yang meliputi illat pada masa sebelum penyusunan Ushul Fiqh dan periode Ijtihad. Pembahasan berikutnya menjelaskan cara penunjukkan al-Quran dan al-Sunnah tentang peng-illat-un hukum, cara sahabat dalam menentukan illat, illat pada Période penyusunan Ushul Fiqh dan pendekatan dikalangan para ulama tentang illat hukum, Hakikat illat di kalangan ulama Ushul, illat dan Syarat-syaratnya, dan hikmah, al-munsabah dan pembagiannya. Musthaf Syalab juga membahas malahat persoalan dan kaitannya dengan illat serta istihsn dengan malahat. Selanjutnya Kajian tentang illat berupa hasil Penelitian disertasi dan tesis dapat pula dikemukan berikut ini Karya Juhaya S. Praja misalnya, Epistimologi Hukum Islam de dalam Penelitian disertasinya yang (Suatu Telaah tentang de Sumber, illat dan Tujuan Hukum Islam serta Metoda-metoda Kebenarannya Dalam Sistem Hukum Islam Menurut Ibnou Taimiyah. Dalam Penelitian ini Juhaya S. Praja membahas illat sebagai salah satu sous bab dari Disertasinya dan menempatkannya pada bab Metodelogi Hukum Islam. Pembahasan ini pandangan mengungkapkan Ibnou Taimiyah tentang illat yang meliputi pengertian illat, illat dan tujuan hukum serta cara-cara mengetahui illat. Hasil Penelitian lain oleh ditulis adalah juga Penelitian disertasi yang Rafii Nazari yang berjudul illat dan Dinamika Hukum Islam. Penelitian ini memang merupakan Penelitian yang Secara Khusus mengkaji persoalan illat hukum. Dalam Penelitian ini Rafii Nazari membahas dan menguraikan illat dan Conditions Coûts-syaratnya. Cara Illat pennetan, dan landasannya, Peranan illat dalam Penetapan hukum Islam serta illat dan dinamika Hukum Islam. Penelitian serupa dapat pula ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yazwardi dengan judul Konsep illat Dalam Qiyas Menurut al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitien tesis yang berupaya mengungkapkan pemikiran Imam al-Ghazl tentang illat yang meliputi Pinguiste illat, ruang lingkup metodologi illat dan klasifikasinya serta kesalahan dalam metodologi illat. Penelitian Yazwardi ini hanya mélangé dan mengkaji kedudukan illat dalam hubungannya dengan qiys menurut pemikiran al-Ghazl. Dari beberapa hasil Penelitian yang Telah dikemukakan di atas Belum terlihat pembahasan atau Kajian yang menjelaskan Secara Mendalam tentang illat dalam kaitannya dengan penetapan hukum syara terutama yang berhubungan dengan eksistensi illat dan Pengembangan hukum serta keterkaitannya pula dengan masalah-masalah kontemporer yang terus Muncul dari waktu ke waktu . Pengkajian illat dalam hubungannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran Ushul Fiqh. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, karena belum dibahas secara mendalam oleh peneliti-peneliti terdahulu.


No comments:

Post a Comment